Arti Sebuah Nilai dan Guru

 Sudah enam belas tahun saya menjalani profesi sebagai seorang guru. Yang saya rasakan adalah saya semakin mencintai profesi ini. Saya tidak peduli orang mengatakan gaji guru kecil. Kata ibuku rejeki itu besar dan kecilnya bergantung pada keikhlasan dan rasa syukur orang yang menerimanya. Ada pula orang yang mengatakan guru tetap saja menjadi guru padahal murid-muridnya sudah menjadi orang-orang besar, kaya, berpangkat, tenar, dan tersebar ke berbagai tempat, bahkan sampai keluar negeri. Menurut saya justru disitulah letak kebanggaannya. Mengapa? Karena itu berarti dalam hidup orang-orang itu ada guratan ajaran guru yang ikut membentuk dirinya seperti itu. Lama setelah saya menjadi guru barulah saya dapat menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Itu semua karena ternyata seorang guru telah lebih dulu menemukan dirinya  sehingga ia dapat membimbing murid-muridnya menemukan jati diri mereka. Maka semakin cintalah saya pada profesi keguruan saya ini.

Suatu ketika saya membaca sebuah anekdot yang berkisah tentang seorang murid nakal yang berusaha mengakali gurunya.
“Anak-anak,” kata sang guru. ‘Hari ini kita akan menggambar. Kalian bebas memilih tema apa saja yang kalian sukai”.
Mulailah anak-anak itu menggambar hal-hal yang mereka sukai. Suasana hening karena semua anak asyik berkarya. Setelah beberapa saat, guru itupun berkeliling mengawasi murid-muridnya. Hatinya senang saat melihat semua murid bekerja. Sampai akhirnya ia tiba pada meja seorang anak. Kertas gambarnya masih kosong, putih bersih tanpa sedikitpun coretan. Si empunya kertaspun duduk tenang seolah ia telah selesai dengan tugasnya.
“Apa yang kau gambar, nak?”, bertanya ia pada si murid dengan sabar.
“Saya menggambar padang rumput yang hijau dan seekor kuda “, jawab si murid.
“Oh ya? Bagus sekali. Lalu mana padang rumputnya?”.
“Tidak ada lagi karena rumputnya habis dimakan oleh kuda”.
“Oh, begitu. Lalu kudanya?”.
“Setelah kenyang, iapun lari. Jadi tak ada lagi disini”.
“Baiklah. Nampaknya gambarmu bagus juga. Bapak beri nilai delapan untuk gambarmu itu”.

Betapa senangnya hati si murid. Ia merasa berhasil mendapat nilai delapan tanpa harus bersusah payah. Tapi nilai delapan itu belum dibubuhkan pak guru di kertas gambarnya. Mungkin beliau lupa, begitu pikirnya. Iapun menghampiri gurunya.
“Pak, maaf, barangkali Bapak lupa. Bapak belum membubuhkan nilai delapan itu di sini.”.
“Oh itu. Bapak sama sekali tidak lupa, nak. Tadi sudah kutuliskan di sana. Tapi rupanya nilai itu dibawa lari oleh kudamu tadi. Memang kau tidak melihatnya?”.
* * *
Anekdot itu selesai sampai di situ. Siapapun yang membacanya pasti akan tersenyum. Mungkin teringat sendiri pada kenakalan mereka dulu pada bapak dan ibu guru. Kenakalan murid adalah salah satu hal yang harus dihadapi guru hampir setiap hari. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk mengatasinya. Kesalahan kecil saja, seperti terpancing emosi misalnya, dapat mengakibatkan hal-hal negatif lainnya. Alih-alih berkurang, kenakalan itu malah menjadi-jadi.
Anekdot itu menggelitik saya dengan ide baru dalam pikiran saya. Maka mengalirlah lanjutan ceritanya menurut versi saya.
* * *
Merah padam wajah si murid mendengar kata-kata gurunya. Sadarlah ia betapa pandai gurunya ini menghadapi murid seperti dirinya. Beliau tetap tenang dan tidak terpancing emosi. Tapi kata-katanya begitu telak menohok lubuk hatinya yang terdalam. Mengetuk kesadarannya, meluluhlantakkan seluruh sendinya hingga iapun terduduk lemas di hadapan sang guru.
“Ada apa lagi, nak?. Mengapa wajahmu pias dan seperti ingin menangis?”.
Sambil terisak-isak, murid itu berkata, “Maukah Bapak memaafkan saya? Saya ingin nilai delapan itu”.
“Nak, kalau kau ingin nilai delapan itu kembali, panggillah kudamu yang lari itu. Suruh ia menetap di kertas ini sampai Bapak menilainya”.

Insiden itu memacu si murid berkarya. Dikerahkannya seluruh kemampuannya pada tugas tersebut. Akhirnya, gambar itupun selesai. Oleh sang guru, gambar itu diperlihatkan kepada seluruh murid di kelas. Bukan hanya nilai delapan yang diperoleh sang murid, tapi juga pujian dari teman-temannya karena gambar itu menjadi  yang terbaik di kelasnya.
Sambil tersenyum, guru itu berkata kepada si murid dan semua yang ada di kelas itu,”Kalau kau menginginkan sesuatu, kau harus berani berbuat sesuatu untuk  mencapainya, bukan hanya mengatakannya. Orang yang tidak berani berbuat apa-apa tidak akan mendapatkan apa-apa”.
* * *
Tokoh bapak guru yang bijak itu telah mengajarkan satu filosofi hidup yang sederhana pada saya. Ia bisa begitu sabar menghadapi murid-muridnya karena ia mencintai profesinya. Mencintai profesi itulah kunci keberhasilan kita dalam karier sebagai guru.

Jadi, jika saya mencintai profesi saya sebagai guru, maka sayapun harus mencintai murid-murid saya, siapapun mereka, seperti apapun mereka adanya. Karena sayalah yang akan mengantar mereka sampai di gerbang kehidupan, meraih apa yang mereka inginkan.

This story is presented to all of my beloved teachers, all of  teachers, and those who concern with teacher and education. May God bless us!

TERBARU :

Data Visitor