PEREMPUAN KEDUA

Udara siang itu menjadi lebih gerah dari biasanya ketika seorang teman memberiku kabar burung. Dia, katanya, melihat suamiku berdua perempuan lain di sebuah rest area.

Hatiku panas bukan buatan. Kukira dahiku bisa mematangkan sebuah telur karenanya.

Dan, hari ini, aku memastikan sendiri kabar seminggu lalu itu. Aku membayangkan bertemu gadis muda berkulit kuning langsat dengan rambut panjang terurai, make up tebal, gaya kecentilan tipe wanita penggoda suami orang.

"Itu dia yang kau maksud".

Suamiku menunjuk seorang wanita yang sedang mengantri di kasir. Kulihat ia kemudian menempati kursi kosong. Lalu menyeruput minumannya dan membaca buku yang dibawanya. Dia tampak tenang sekali.

"Kau tidak salah orang?", tanyaku pada suamiku. Wajahku pasti tampak bodoh di depannya.

"Tidak". Suamiku menjawab pasti. "Ayo kita temui dia". Ada semangat terpancar dari nada bicaranya.

Kami duduk berhadapan. Bayanganku tentang gadis muda penggoda lelaki hilang seketika. Calon maduku itu atau entah apalah namanya, seumuran aku.

Perempuan itu santun menyalamiku, menanyakan kabar dan mempersilakan aku duduk setelah suamiku memperkenalkan kami. Gamis yang dipakainya berpotongan sederhana. Kerudungnya tidak tersentuh model terbaru. Penampilannya sungguh bersahaja. Namun, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan, membuatku kelu, lupa semua yang ingin kukatakan.

Kulirik suamiku. Lelaki modis itu. Yang selalu tampil rapi bak anak muda. Bagaimana bisa dia tertarik dengan perempuan yang tidak muda lagi dan  sangat sederhana ini.

Kudengar suamiku menjelaskan maksud kedatangan kami. Dia mengangguk takzim tanda mengerti. Lalu, ditatapnya aku, dengan senyum yang seakan menempel di bibirnya. Dia menanti kata-kata keluar dari mulutku. Ingatanku malah melayang kemana-mana.

Seminggu lalu, ketika sahabatku dengan mulut nyinyirnya memberitahuku soal perempuan ini, otakku langsung bekerja keras menyusun rencana. Sudah kusiapkan amunisi untuk menjatuhkan calon maduku ini. Atau sudah jadi maduku, entahlah. Rasanya aku belum siap untuk tahu.

Suamiku sudah pula kubombardir dengan serentetan pertanyaan. Dia menjawabnya dengan tenang, seperti biasanya. Lelaki yang sudah kunikahi lebih dari dua puluh tahun ini memang tak banyak bicara. Tapi ketenangannya kali ini menghadapi aku yang meradang, patut diacungi jempol. Amat sangat tenang untuk ukuran amarahku yang sudah mencapai ubun-ubun. Meski aku tak tahu untuk apa aku marah sebenarnya. Toh, sudah beberapa waktu ini  kami hanya kelihatannya saja bersama, padahal tak ada lagi chemistry seperti pertama kali bertemu. Salah akukah? Atau salah dia? Entahlah.

“Kau tak butuh aku lagi ‘kan?”. Itu jawaban singkat suamiku yang menohok ulu hati. Sebegitu parahkah rasa tidak peduliku padanya hingga dia harus mengeluarkan kata-kata itu.

Suara denting gelas membuyarkan lamunanku. Mereka berdua tengah memandangiku. Seperti menanti kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Tak ada seleraku untuk bicara apapun.

“Kita pulang”, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Semangatku entah menguap kemana.

“Tidak diminum dulu, Mbak? Sayang lho, sudah dipesankan”. Ah, perempuan kesayangan suamiku itu tersenyum menawariku minum. Aku hanya memandangi wajahnya dan mengucapkan terimakasih

Kudengar suamiku berpamitan padanya. Ada desir halus melihat mereka berdua. Antara cemburu, marah dan lega mengaduk-aduk perasaanku. Kuakui mereka sungguh serasi. Ada bagian dari pribadi perempuan itu yang tak kumiliki.

Haruskah kurelakan saja suamiku untuknya atau aku tetap bertahan? Toh, perempuan itu tidak terlihat seperti sebuah ancaman. Yang kulihat justru sikap penerimaan yang pasrah bahwa semua ini adalah kehendak Nya. Seperti kata suamiku, andai boleh memilih, tak ada satupun diantara kami bertiga yang ingin berada di posisi ini.

Entahlah. Sungguh aku mati gaya. Biar waktu menjawab semuanya…..

#perempuan_kedua
#cianjur_27092016
#four_months_and_ten_days

TERBARU :

Data Visitor