KAMI BERI KAU KEBEBASAN DAN BUATLAH KAMI TERSENYUM


Aku sedang di perjalanan dari Bandung menuju Cianjur ketika sebuah sms masuk. Nomornya tidak kukenal, kubaca isinya. Singkatnya, sms itu dari orang tua siswa yang ingin anaknya pindah dari jurusan IPS ke jurusan IPA dengan alasan nilai rapor pelajaran IPA lebih bagus dari pelajaran IPS. Pengajuan alih jurusan kan sudah 3 bulan yang lalu, pikirku. Kemana saja ya orang tua yang satu ini.
Ketika ada kesempatan, aku buka file nilai rapor siswa. Data nilai rapor atas nama siswa tersebut adalah rata-rata IPA 76,45, rata-rata IPS 76,75, rata-rata Bahasa 78,33 dan nilai rata-rata seluruhnya (17 mapel) adalah 76,70. Siapapun yang membaca ini pasti tahu nilai rata-rata jurusan mana yang paling tinggi.
Lalu, aku panggil siswa yang bersangkutan. Aku tanyakan kepadanya mengapa baru mengajukan pindah jurusan sekarang. Katanya, waktu itu ragu-ragu karena nilai mata pelajaran  Fisikanya buruk, jadi tidak ‘pede’ lah. Nah, kan sudah terjawab ya. Lalu, aku tanyakan lagi padanya sebenarnya dia sendiri inginnya di jurusan apa. Jawabnya, “Aku ingin di IPS, bu”. Wah, semakin jelas nih, pikirku. Oke, berikutnya aku tanyakan lagi cita-citanya. Dia menjawab dengan tegas “Diplomat”. Lhoooo…itu kan bidangnya IPS ya…..
Maka aku sarankan padanya untuk mengemukakan hal ini pada sang bunda supaya beliau tidak lagi “memaksa” nya masuk IPA. Aku tersenyum lega. Rasanya satu beban sudah terbebaskan.
Sore harinya sebuah sms masuk lagi. Masih dari orangtua yang sama. Dahiku mulai berkerut. “Bagaimana peluang anak saya masuk IPA, bu?”, begitu katanya.
Masih dengan dahi berkerut, berlipat-lipat karena ketidakmengertianku, kujelaskan semua pembicaraanku dengan sang  anak siang tadi. Rupanya sang ibu masih bersikukuh. Kali ini alasannya sang anak lemah dalam pelajaran hafalan. Aduh! Saking bingung, sms itu tak kubalas. Tapi efeknya luar biasa. Aku dilanda kemalasan luar biasa menghadapi hari esok, membayangkan sang ibu yang datang ke sekolah, membayangkan aku harus menjelaskan panjang lebar tapi dia tetap tidak mau mengerti. Ah ….
Tapi, hidup tak boleh berhenti hanya karena orang-orang yang selalu memaksakan kehendaknya. Semangat Senin pagi membuatku mantap melangkah ke sekolah. Be will be, begitu pikirku.

“Bu, saya kaget ternyata penjurusan sudah dilakukan sejak kelas X. Sungguh saya merasa belum pernah diberitahu masalah ini”.
Lho? Aku terhenyak kaget mendengar tutur kata orang tua siswa yang datang kepadaku pagi tadi.
“Tapi…,” katanya lagi, “Ada 3 orang di kelas anak saya yang pindah ke jurusan IPA”
“Ya, memang bisa, kan mereka mengajukan permohonan untuk pindah jurusan”, jawabku. Masih dengan keheranan yang melingkupi diri, aku bertanya lagi kepadanya, “Bukannya bapak pernah datang kepada saya dan konsultasi jurusan beberapa bulan yang lalu?”.
“Ya, bu”.
“Waktu itu Bapak tidak bilang putra Bapak mau pindah kan? Takutnya saya yang salah, Bapak mengajukan pindah, tapi tidak tercatat oleh saya”
“Ya itulah, bu. Saya memang tidak mengajukan pindah jurusan untuk anak saya. Tapi, kalau waktu itu Ibu menyuruh saya untuk melakukannya, pasti saya lakukan”.
Lhoooooooo?????????.......Memang itu anak siapa, Pak?
“Boleh saya lihat nilai anak Bapak?”. Diasongkannya rapor anaknya. Aku hitung rata-rata IPA 76,00, rata-rata IPS 77,25, rata-rata Bahasa 76,66, rata-rata keseluruhan (17 mapel) 77,64. So, which kind of these values is the highest one?

 “Bu, saya ingin mengajukan permohonan pindah jurusan anak saya, dari IPS ke IPA”. Demikian lagi seorang ibu menemuiku siang ini. Kutanyakan mengapa baru sekarang mengajukan hal itu. Lalu kujelaskan semuanya tentang penetapan jurusan yang sudah kami laksanakan sejak 3 bulan lalu.
“Saya sudah tawarkan itu pada anak saya, bu. Tapi dia bilang sudah merasa berat meninggalkan teman-teman. Tapi sekarang dia ingin pindah jurusan’’. Aduh! Tapi ibu yang satu ini begitu baik hati. Dia mengerti apa yang kujelaskan bahwa pengajuannya sudah sangat terlambat.
Itu cuma contoh saja dari sekian banyak pemohonan dan alasan orangtua yang menginginkan anaknya pindah jurusan. Imej di masyarakat tentang rendahnya jurusan IPS dan Bahasa membuat orang tua bersikukuh memaksa anaknya masuk jurusan IPA tanpa memperhatikan bakat, minat dan keinginan anak. Padahal, setelah lulus nanti, anak-anak IPA itu kebanyakan memilih program studi di kelompok IPS. Hal itu masih membuat dahi saya berlipat-lipat sampai sekarang.
Kemandirian anak dalam mengambil keputusan harus  dilatih sejak dini. Mereka harus belajar memilah dan memilih sekian banyak pilihan dan tanggung jawab untuk menanggung resikonya. Apapun pilihan itu pasti ada resikonya. Tak mungkin orang hidup tanpa menanggung resiko. Kebanyakan anak dipersiapkan untuk menang, mental mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kegagalan. Begitu juga orangtuanya. Mereka lebih mempersiapkan diri untuk melihat anaknya tumbuh sesuai harapan mereka. Terkadang mereka lupa bahwa anak bukanlah benda mati yang bisa diatur sedemikian rupa menurut kehendak mereka. Mereka lupa anak adalah kehidupan yang memiliki alur sendiri. Ketika alur itu berbeda dari yang ditetapkan orangtua, langsung ada vonis “kamu salah”. Apakah setiap yang berbeda dengan kita selalu salah?
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak dapat menjadi solusi masalah perbedaan pendapat antara anak dan orang tua. Susah memang membangun komunikasi yang efektif, tapi bukan berarti tidak bisa bukan? Semua harus melalui proses, dan proses membutuhkan kesempatan serta kesabaran. Beri kesempatan kepada anak untuk membahagiakan orang tua dengan cara yang mereka pilih. Saya yakin anak-anak selalu memilih cara yang positif, meski berbeda dengan yang diinginkan orangtua.. Beri mereka kesempatan untuk membuktikan diri dan bersabarlah menunggu hasilnya.
Sambil menunggu, saya merenung tentang perjalanan hidup saya. Setidaknya, menurut versi saya, hidup saya berhasil saat ini. Ketika saya lulus SMP, orangtua memberi kebebasan kepada saya untuk masuk SMA atau SMK. Saat di SMA, mereka juga tidak mengatur saya harus pilih jurusan IPA, IPS atau Bahasa. Semua terserah saya. Ketika saya menyukai Biologi, saya bilang ke ibu saya bahwa saya mau masuk A2 (dulu IPA terbagi atas A1 dan A2). Ibu saya cuma mengangguk. Tapi kemudian saya menyadari bahwa nilai saya tidak memadai di Fisika, apalagi Kimia. Semuanya cuma pas. Jadi, saya katakan ke walikelas saya mau masuk A3 (IPS) saja. Beliau mengabulkan, dan saya sangat berterimaksih kepada beliau karena di IPS saya menemukan pelajaran baru Sosiologi dan Antropologi (yang mengantar minat saya untuk kuliah di Bimbingan dan Konseling). Dan yang lebih keren, untuk saat itu, jurusan kami mendapat pelajaran bahasa Perancis. Jurusan IPA tidak mendapat bahasa asing lain selain Inggris. And we were very proud of our French.
Teman-teman  satu kelompok belajar saya saat itu masuk A2 semua. Dahi mereka berkerut ketika tahu saya memilih IPS (dan lebih berkerut lagi ketika tahu saya sekarang  jadi guru BK). Paman sayapun demikian. “Mengapa masuk IPS? Bukankah kamu selalu jadi juara kelas?”. Kasihan melihat dahi paman terus berkerut, padahal saya sangat suka di IPS. Saya berkembang di jurusan ini. Selalu masuk peringkat 5 besar di kelas (kalaulah itu tolok ukur keberhasilan). Meski gagal di PMDK, tapi saya berhasil menumbangkan SNMPTN Tulis (dulu Sipenmaru namanya). Kuliah saya selesai dalam waktu  3,5 tahun. Belum jadi sarjana sudah dapat pekerjaan dan saya bisa pergi umroh karena keberhasilan saya menjadi Guru Berprestasi peringkat 1 di kabupaten Cianjur dan peringkat 2 di tingkat propinsi Jawa Barat tahun 2006. Dalam segi karir itulah pencapaian tertinggi saya.
Apakah ini mau obral kesombongan? Bukan…..tulisan ini mengingatkan saya betapa kebebasan dan kesempatan yang diberikan orang tua saya, juga kesabaran beliau untuk pembuktian keberhasilan saya dan yang pasti juga doa yang mereka panjatkan untuk saya, telah mengantarkan saya sampai di titik ini. Mereka tak banyak mengatur. Mungkin dengan bahasa yang sederhana, mereka hanya mengatakan “Buatlah kami tersenyum”. Artinya, semua yang orangtua berikan harus saya manfaatkan sebaik mungkin.
Ayah sayapun sempat berkerut dahinya ketika tahu saya memilih kuliah di keguruan. Tapi beliau tetap mendoakan saya. Membantu saya mempersiapkan ospek, mengantar dan menjemput saya mengikuti kegiatan di hari-hari pertama saya jadi mahasiswa. Hanya satu yang beliau larang saat saya kuliah, jangan jadi anggota Resimen Mahasiswa, dan saya menurut.Tapi,  itupun karena saya tidak begitu suka dengan kegiatan Resimen Mahasiswa yang cukup menyita waktu. Cukup sampai latihan dasar militer di kampus. Artinya, kalau saya suka tetap menjadi anggota Resimen Mahasiswa, sepertinya ayah saya tetap akan mendukung meski beliau tidak setuju. Dan sekarang, tidak masalah bagi beliau saya menjadi guru, toh saya sudah membuktikannya bahwa di bidang ini saya punya prestasi. Bahkan beliau yang pertama kali mengantar saya ke tempat tugas saya ketika saya diangkat CPNS menjadi guru. Dan saya tahu, ada pancaran kebahagiaan di mata beliau. (Wah…mataku berair ingat ini)
Sadar dari renungan, saya menjadi iba kepada murid-murid saya yang sekolah hanya untuk memenuhi keinginan orang  tua. Kasihan mereka, terutama ketika menemui hambatan, pasti akan terasa amat berat karena ini bukan sepenuhnya pilihan mereka. Mungkin orang tua mereka harus belajar dari orang tua saya : Kuberi kau kebebasan, dan buatlah kami tersenyum. Motto yang singkat, padat dan hebat! Thank you my great parents!

teriring doa untuk semua anak dan orang tua di dunia
semoga kalian selalu dapat berkomunikasi dengan baik
dan saling mendukung untuk kebaikan




TERBARU :

Data Visitor